LAPORAN PENDAHULUAN
PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK )
A. PENGERTIAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD)
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)
Penyakit
Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) atau Penyakit Paru Obstruktif Menahun ( PPOM ) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma.
Tetapi
dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan
Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah " Chronic obstructive airway
disease " dan " Chronic Obstructive Lung Diseases ( COLD ) "
B. ETILOGI
1.
Rokok
•Hiperplasia
kelenjar mucus bronkus
• Metaplasia skuamus epitel saluran pernapasan
•Inhibisi
aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar, surfaktan
2.
Infeksi, bakteri terbanyak adalah
haemophilus influenza dan streptococus
pneumonia
3.
Polusi, zat-zat kimia antara lain :
N2O, hidrokarbon, aldehid
4.
umur
5.
keadaaan sosial ekonomi.
1.
Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi
klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama
2 tahun berturut-turut.
2. Emfisema paru
Emfisema paru merupakan suatu
definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang
disertai kerusakan dinding alveolus.
1) Emfisema
Centriolobular Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus,
biasanya pada region paru atas. Inflamasi
berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa
2) Emfisema
Panlobular (Panacinar) Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya
termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar
emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
3) Emfisema
Paraseptal Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab
dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan
defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan
dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan)
timbul.
3. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan
reversible akibat bronkospasme.
C. ANOTOMI DAN
FISIOLOGI
D. MANIFESTASI
KLINIS
1. Bronkitis kronik
- Batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang- kuranganya 3 bulan dalam satu tahun
dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
- Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukosa
- Mukus lebih kental
- Kerusakan fungsi ciliary
2. Untuk emfisema, astma
• Kelemahan badan
• Batuk
• Sesak napas
• Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
• Mengi atau wheeze
• Ekspirasi yang memanjang
• Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
• Penggunaan otot bantu pernapasan
• Suara napas melemah
• Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
• Edema kaki, asites dan jari tabuh.
F. PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan
radiologist
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau
farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus
menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
b. Corak
paru yang bertambah
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1,
KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR ( maximal expiratory
flow rate ), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan
diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan
hanya pada saluran napas kecil ( small airways ). Pada emfisema kapasitas
difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
1. Analisis
gas darah
Pada
bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis.
Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung
kanan.
2. Pemeriksaan
EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi
clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis
kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB
inkomplet.
3. Kultur
sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
4. Laboratorium
darah lengkap.
G.
KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai
PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap
lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, dan
tachipnea.
3. Infeksi
Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena
peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan
edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
4. Gagal
jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan
akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea
berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi
klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac
Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek
obat atau asidosis respiratory.
6. Status
Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan
dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.
H.
PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan
: Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi
eksaserbasi akut di lakukan dengan :
• Antibiotik, karena
eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
• Terapi oksigen
diberikan jika terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
• Fisioterapi
membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
• Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi
jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara
perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :
• Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka
panjang, ampisilin 4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
• Latihan fisik
untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
• Mukolitik dan
ekspektoran
• Terapi oksigen
jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3
Pa (55 MMHg)
• Rehabilitasi,
pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :
o Ø Fisioterapi
o Ø Rehabilitasi psikis
o Ø Rehabilitasi
pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482)]
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
PPOK( PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK )
A. PENGKAJIAN
Ø IDENTITAS
Nama pasien, umur jenis kelamin, status perkawinan,
jumlah anak, agama, warga negara, pendidikan, pekerjaan, alamat.
Ø RIWAYAT KESEHATAN
v Keluhan utama
v Riwayat penyakit dahulu
v Riwayat penyakit keluarga
Data riwayat kesehatan dari proses penyakit ;
1. Sudah
berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2. Apakah
aktivitas meningkatkan dispnea?
3. Berapa
jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4. Kapan
pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6. Riwayat
merokok?
7. Obat yang dipakai setiap hari?
8. Obat yang dipakai pada serangan akut?
9. Apa
yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data
tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel
chest?
6. Apakah
tampak sianosis?
7. Apakah
ada batuk?
8. Apakah
ada edema perifer?
9. Apakah
vena leher tampak membesar?
10. Apa
warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11. Bagaimana
status sensorium pasien?
12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan
13. Hasil
pemeriksaan diagnosis seperti :
1. Chest
X-Ray :
dapat
menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara
retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk
bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan
Fungsi Paru :
dilakukan
untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut
apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan
untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
3. TLC
:
meningkat
pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas
Inspirasi :
menurun
pada emfisema
5. FEV1/FVC
:
ratio
tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun
pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs
:
menunjukkan
proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH
normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram
:
dapat
menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8. Darah
Komplit :
peningkatan
hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
9. Kimia
Darah :
alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang
pada emfisema primer.
10. Sputum
Kultur :
untuk
menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG
:
deviasi
aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis),
gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS
vertikal (emfisema)
12. Exercise
ECG, Stress Test :
menolong
mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat
bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
Palpasi:
1. Palpasi
pengurangan pengembangan dada?
2. Adakah
fremitus taktil menurun?
Perkusi:
1. Adakah
hiperesonansi pada perkusi?
2. Diafragma
bergerak hanya sedikit?
Auskultasi:
1. Adakah
suara wheezing yang nyaring?
2. Adakah
suara ronkhi?
3. Vokal fremitus nomal atau menurun?
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga
dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi
keperawatan:
1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk.
3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan
malam hari sesuai yang diharuskan.
5. Instruksikan
pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim,
dan asap.
6. Ajarkan
tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan
segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
7. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae
dan streptococcus pneumoniae.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
Tujuan:Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
1. Deteksi
bronkospasme saat auskultasi .
2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
3. Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan
waspada kemungkinan efek sampingnya.
4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan
sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
5. Pantau
pemberian oksigen.
6. Berikan penkes tentang terapi yang diberikan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih
tinggi dari aktivitas yang mungkin.
Intervensi
keperawatan:
1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama
3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status fungsi dasar.
4. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program
latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.
5. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan
aktivitas untuk berjaga-jaga.
6. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring
lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
7. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan
aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual
muntah.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi keperawatan:
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi
berat badan dan ukuran tubuh.
2. Auskultasi
bunyi usus
3. Berikan
perawatan oral sering, buang sekret.
4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan:
1. Bantu
klien latihan relaksasi ditempat tidur.
2. Lakukan
pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan
tindakan tersebut.
3. Atur
posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
4. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
5. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan:
Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
Intervensi:
1. Pantau kebersihan pasien
2. Dorong
klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai
kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan.
3. Bantu pasien dalam perawatan diri
4. Berikan penkes tentang betapa pentingnya perawatan diri.
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap
kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan
Intervensi keperawatan:
1. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
2. Jangan
tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
3. Jelaskan
kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.
4. Berikan
siraman rohani
ANATOMI HARAP LENGKAPI SENDIRI
OBAT HERNIA
BalasHapusterima kasih infonya